Pendidikan Karakter
Sumber : www.wikipedia.com
Oleh : Dwi Wahyuni
PGSD
2C UNP Kediri
Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan
masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan
merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni
sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan
sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar
kemanusiaan.
Dimensi
kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu:
(1) afektif yang tercermin pada kualitas
keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian
unggul, dan kompetensi estetis
(2)
kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk
menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
(3)
psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis,
kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Pendidikan karakter
adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua
komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu,
pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam
menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan
(cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona,
tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan
pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan,
seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal
penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan
lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk
tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Pendidikan karakter
berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal
(bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the
golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila
berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog,
beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan
ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun,
kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan
pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi,
cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar
manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli,
jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin,
visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di
sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya
dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat
tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan
lingkungan sekolah itu sendiri.
BENTUK-BENTUK
PEMBELAJARAN TERPADU YANG BERKARAKTER
Lebih lanjut,
model-model pembelajaran inovatif dan terpadu yang mungkin dapat diadaptasi,
seperti yang ditulis oleh Trianto, 2009, dalam bukunya yang berjudul
Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik adalah sebagai berikut :
1. Fragmentasi
Dalam model ini, suatu disiplin yang berbeda dan terpisah dikembangkan merupakan suatu kawasan dari suatu mata pelajaran
2.
Koneksi
Dalam model ini, dalam setiap topik ke topik, tema ke tema, atau konsep ke konsep isi mata pelajaran dihubungkan secara tegas
Dalam model ini, dalam setiap topik ke topik, tema ke tema, atau konsep ke konsep isi mata pelajaran dihubungkan secara tegas
3. Sarang
Dalam model ini, guru mentargetkan variasi keterampilan (sosial, berpikir, dan keterampilan khusus) dari setiap mata pelajaran.
Dalam model ini, guru mentargetkan variasi keterampilan (sosial, berpikir, dan keterampilan khusus) dari setiap mata pelajaran.
4. Rangkaian/Urutan
Dalam model ini, topik atau unit pembelajaran disusun dan diurutkan selaras dengan yang lain. Ide yang sama diberikan dalam kegiatan yang sama sambil mengingatkan konsep-konsep yang berbeda.
Dalam model ini, topik atau unit pembelajaran disusun dan diurutkan selaras dengan yang lain. Ide yang sama diberikan dalam kegiatan yang sama sambil mengingatkan konsep-konsep yang berbeda.
5. Patungan
Dalam model ini, perencanaan dan pembelajaran menyatu dalam dua disiplin yang konsep/gagasannya muncul saling mengisi sebagai suatu sistem.
Dalam model ini, perencanaan dan pembelajaran menyatu dalam dua disiplin yang konsep/gagasannya muncul saling mengisi sebagai suatu sistem.
6. Jala-jala
Dalam model ini, tema/topik yang bercabang ditautkan ke dalam kurikulum. Dengan menggunakan tema itu, pembelajaran mencari konsep/gagasan yang tepat.
Dalam model ini, tema/topik yang bercabang ditautkan ke dalam kurikulum. Dengan menggunakan tema itu, pembelajaran mencari konsep/gagasan yang tepat.
7. Untaian Simpul
Dalam model ini, pendekatan metakurikuler menjalin keterampilan berpikir, sosial, intelegensi, teknik, dan keterampilan belajar melalui variasi disiplin.
Dalam model ini, pendekatan metakurikuler menjalin keterampilan berpikir, sosial, intelegensi, teknik, dan keterampilan belajar melalui variasi disiplin.
8. Integrasi
Dalam model ini, pendekatan interdisipliner memasangkan antar mata pelajaran untuk saling mengisi dalam topik dan konsep dengan beberapa tim guru dalam model integrasi riil.
Dalam model ini, pendekatan interdisipliner memasangkan antar mata pelajaran untuk saling mengisi dalam topik dan konsep dengan beberapa tim guru dalam model integrasi riil.
9. Peleburan
Dalam model ini, suatu disiplin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keahliannya, para pebelajar menjaring semua isi melalui keahlian dan meramu ke dalam pengalamannya.
Dalam model ini, suatu disiplin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keahliannya, para pebelajar menjaring semua isi melalui keahlian dan meramu ke dalam pengalamannya.
10. Jaringan
Dalam model ini, pebelajar menjaring semua pembelajaran melalui pandangan keahliannya dan membuat jaringan hubungan internal mengarah ke jaringan eksternal dari keahliannya yang berkaitan dengan lapangan.
Dalam model ini, pebelajar menjaring semua pembelajaran melalui pandangan keahliannya dan membuat jaringan hubungan internal mengarah ke jaringan eksternal dari keahliannya yang berkaitan dengan lapangan.