Mencerahkan Sekolah Unggulan

Sumber :
*) Ketua Forum Kajian Lereng Merapi (For KaLeM) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Blog:
http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik):
redaksi@kabarindonesia.com

Oleh    : Eka Yulia M/ 0111
             PGSD 2C UNP Kediri

Judul di atas merupakan bagian dari ritual tahunan di Tanah Air kita setiap memasuki bulan Juli. Saat itulah orang tua dituntut cerdas mencarikan sekolah untuk anak-anak mereka. Tentunya sekolah unggulan, berkualitas, dan bila mungkin juga ternama.

Apa sebenarnya sekolah unggulan itu? Tentu kita tidak setuju jika sekolah unggulan hanya didefinisikan sebagai sekolah hebat yang berhasil merekrut siswa-siswa yang ber-IQ tinggi, kemudian lulus dengan nilai akademik yang sempurna, serta ditopang sarana dan prasarana yang mewah dan lengkap pula. Sampai detik ini silang pendapat mengenai definisi Sekolah Unggulan terus terjadi.
Hal ini mengakibatkan lahirnya tipe-tipe sekolah unggulan :
a. Pertama, sekolah yang menerima dan menyeleksi siswa secara ketat dengan kriteria intelegensi dan prestasi akademik yang tinggi. Meski aktivitas belajar di sekolah tersebut tidak luar biasa bahkan cenderung ortodok, namun karena input-nya yang memang sudah unggul, maka output yang dihasilkan tentu juga ‘unggul’.
b. Kedua, sekolah yang menawarkan fasilitas serba mewah, tentunya dengan tebusan SPP yang melangit pula. Konon, sekolah-sekolah tipe ini uang pangkalnya saja bisa mencapai jutaan. Bagi wong alit (masyarakat kelas bawah), pastilah mahal. Tapi, bagi wong elit (masyarakat elit, kelas atas), itu adalah biasa. Buktinya sekolah-sekolah tipe ini selalu diserbu siswa.
c. Ketiga, sekolah yang menekankan pada iklim belajar yang positif di lingkungannya. Sekolah tipe ini hendak mencetak input yang biasa-biasa saja menjadi output yang istimewa dan luar biasa.




Dalam pandangan penulis, suatu sekolah bisa dibilang unggul apabila memenuhi beberapa faktor berikut:
1.      Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Profesional. Kepala Sekolah profesional dalam paradigma baru manajemen pendidikan akan memberikan dampak positif dan perubahan yang cukup mendasar dalam pembaruan sistem pendidikan di sekolah.
Dampak tersebut antara lain terhadap efektifitas pendidikan, kepemimpinan sekolah yang kuat, pengelolaan pendidikan yang efektif, budaya mutu, team work yang kompak, cerdas, dinamis, transparansi manajemen, kemauan untuk berubah (psikologis dan fisik), evaluasi dan perbaikan berkelanjutan, responsif dan antisipatif terrhadap kebutuhan, akuntabilitas, dan sustainabilitas. (E. Mulyasa: 2006)
2.      Guru yang tangguh dan profesional. Guru yang demikian akan memahami tugas dan perannya secara lebih utuh dan komprehensif. Tidak sekadar mentransfer pengetahuan (transfer of knowledge), namun lebih dari itu, tugas guru mencakup tugas profesi, kemanusiaan, dan kemasyarakatan. Pun peran guru, selain sebagai pengelola kelas, juga demonstrator, mediator dan fasilitator, evaluator, dan transformator atau agent of change. Guru yang tangguh tidak hanya mempesona dan hebat menguasai materi ajar (subject matter). Guru yang tangguh adalah mereka yang memiliki empat kompetensi secara integral, yaitu kompetensi profesional, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi paedagogi.
3.      Memiliki tujuan pencapaian filosofis yang jelas (visi dan misi). Sekolah yang tidak memiliki visi-misi yang matang dan jelas cenderung asal-asalan dan komersil. Ibarat bahtera, berlayar di lautan tapi tidak memiliki tujuan. Apa jadinya? Jelas anak akan terombang-ambing, bahkan tidak mustahil potensinya justru akan mati di tangan sekolah. Orang Jawa menyebut tipe seperti ini sebagai "sekolah waton": waton mlaku, waton ono muride, lan waton ono duite (asal berjalan, asal ada muridnya, dan asal ada uangnya).
4.      Lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran. Lingkungan kondusif bukan hanya ruang kelas dengan berbagai fasilitas mewah dan lengkap, tetapi segala tempat yang dapat mendorong dimensi pemahaman secara utuh dan menyeluruh bagi siswa. Itu bisa dijumpai di tengah sawah, di bawah pohon, di pinggir kali atau bahkan di dalam gerbong kereta api.
5.      Jaringan organisasi (networking) yang baik. Ke-solid-an jaringan organisasi kerap dipahami secara keliru oleh sebagian pimpinan sekolah sebagai jaringan komando (instruktif top-down atau ketundukan bawahan terhadap atasan). Padahal jaringan organisasi bisa dinilai solid jika mengakomodasikan seluruh elemen atau stakeholder pendidikan; dari pimpinan sekolah, guru, orangtua, masyarakat, sampai ke tingkat siswa itu sendiri.
6.      Kurikulum yang jelas. Kendati Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah digulirkan, namun dalam implementasinya tetap dihadapkan pada setumpuk persoalan. Sistem evaluasi yang kita sebut Ujian Nasional (UN) adalah salah satu persoalan ironi yang mengelilingi KTSP. Ini menunjukkan bahwa, sentralisasi pendidikan tetap ada sampai sekarang. Hanya saja, ia menyaru secara apik dalam UN dan kebijakan-kebijakan pendidikan nasional yang menegaskan kearifan lokal (daerah maupun sekolah).
7.      Evaluasi belajar yang baik berdasarkan peta pemahaman, sikap, internalisasi nilai, dan partisipasi peserta didik terhadap berbagai problem di sekitarnya. Sayangnya, sistem evaluasi ini justru dimentahkan oleh UN yang tidak lagi menjadi alat untuk menguji, tapi mengadili. Bukan memetakkan kemampuan, tapi justru mengerdilkan keragaman potensi peserta didik.
8.      Partisipasi aktif orang tua dalam kegiatan sekolah. Misalnya, memberikan pengawasan melekat (waskat) secara sukarela kepada siswa, terlibat dalam penyusunan kurikulum sekolah, dan pengawasan proses pendidikan di sekolah. Dengan demikian, orang tua memiliki tanggung jawab yang sama dalam mendidik anak. Sehingga terjalin sinkronisasi antara pola pendidikan di sekolah dengan pola pendidikan di rumah.



Categories:

Leave a Reply